Sumber Kompas (24/11/2007)
Oleh EVY RACHMAWATI
Situasi epidemi HIV di Tanah Air kian mencemaskan. Menurut laporan tahunan terbaru dari Badan Dunia untuk Penanggulangan HIV/AIDS atau UNAIDS, Indonesia kini berada di urutan nomor satu di antara negara-negara Asia terkait dengan tingkat kecepatan laju epidemi HIV.
Saat ini di kawasan Asia diperkirakan 4,9 juta orang hidup dengan HIV/AIDS, termasuk 440.000 kasus baru pada tahun lalu. Sekitar 300.000 orang meninggal akibat berbagai penyakit terkait AIDS. Asia Tenggara sendiri memiliki tingkat prevalensi tertinggi di Asia, dengan luas wilayah endemis bervariasi antarnegara.
Ketika epidemi di Kamboja, Myanmar, dan Thailand menunjukkan penurunan prevalensi HIV, di Indonesia dan Vietnam justru meningkat pesat. Mayoritas kasus infeksi baru di Indonesia dan Vietnam disebabkan pemakaian narkotika, psikotropika, dan zat-zat adiktif lainnya (napza), terutama penggunaan jarum suntik injecting drug use (IDU), dan hubungan seks tidak aman.
Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan kasus HIV di Indonesia sungguh mencengangkan. Jika tahun 1998 jumlah kumulatif kasus HIV baru 591 orang, pada September 2007 jumlahnya telah mencapai 5.904 orang. Sejak Januari hingga September 2007 saja, jumlah kasus infeksi baru HIV mencapai 674 orang.
Kondisi ini seiring dengan laju epidemi AIDS. Jika tahun 1998 jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan 258 orang, pada September 2007 jumlahnya telah meningkat jadi 10.384 orang dengan prevalensi 4,57 persen. Cara penularan kasus AIDS melalui IDU 49,5 persen dan hubungan seks tidak aman 46 persen.
Napza
Sejauh ini epidemi HIV/AIDS di Tanah Air masih terkonsentrasi pada populasi risiko tinggi. Kini sumbangan terbesar dalam penularan HIV/AIDS telah bergeser dari hubungan seks tidak aman ke pemakaian napza (populer dengan sebutan narkoba) dengan jarum suntik. Peningkatan kasus penularan virus itu melalui narkoba suntik mulai terlihat sejak tahun 1999.
Departemen Kesehatan menyebutkan, jumlah pengguna narkoba suntik di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan 190.000 hingga 247.000 orang. Sementara estimasi prevalensi HIV pada pengguna narkoba suntik mencapai 41,6 persen dan ditemukan di tiap provinsi. Secara nasional, dari kasus AIDS yang terlaporkan secara kumulatif, 49,5 persen di antaranya adalah pengguna narkoba suntik.
Bahkan, di wilayah Provinsi DKI Jakarta, 72 persen dari total jumlah kumulatif kasus AIDS adalah pengguna narkoba suntik. “Usia pengguna napza suntik cenderung makin muda sehingga mereka akan terinfeksi HIV lebih awal dan sulit dijangkau,” kata Nafsiah Mboi, Sekretaris Komisi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS.
Para pengguna narkoba suntik di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) juga meningkat pesat serta rata-rata 20 persen terinfeksi HIV. Akibatnya, angka kematian penghuni lapas atau rutan pada tahun 2005 meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Para pengguna narkoba suntik yang terinfeksi HIV di lapas atau rutan selama ini kesulitan mengakses pelayanan kesehatan.
Tingginya angka infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba terutama disebabkan perilaku mereka amat berisiko. Salah satunya, masih meluasnya praktik berbagi jarum suntik di kalangan IDU. Di Indonesia, yang populer dikonsumsi adalah narkoba suntikan berupa heroin atau putau. Konon karena efeknya lebih cepat dan murah dibandingkan dengan yang nonsuntikan.
Di sisi lain, pengetahuan pentingnya sterilisasi jarum suntik sangat rendah. Menurut penelitian Budi Utomo, guru besar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), di kalangan remaja pengguna narkoba suntik umumnya satu jarum suntik dipakai dua sampai 18 orang. Bahkan, 62 persen di antaranya memakai ulang jarum tersebut. Cara membersihkan jarum, 65 persen memakai air biasa, 31 persen air panas. Sangat sedikit yang mensterilkan dengan merebus.
Hasil penelitian lain yang dilakukan I Made Setiawan dan timnya di Bali (1998) menyebutkan, 26,5 persen dari pengguna narkoba suntik itu memiliki lebih dari satu pasangan seksual aktif, 26,5 persen lainnya pernah menggunakan jasa pekerja seksual, serta 17,6 persen pernah berhubungan intim dengan orang asing. Akan tetapi, cuma satu orang yang konsisten memakai kondom.
Hal ini membuat kelompok pengguna narkoba suntik menempati posisi amat penting dalam mata rantai penyebaran HIV/AIDS. Menurut Zubairi Djoerban, guru besar dari FKUI RSCM yang bergerak di bidang penanggulangan HIV/AIDS, mereka rentan tertular akibat praktik berbagi jarum suntik. Kemudian, mereka berpeluang besar menularkannya ke kalangan nonpengguna narkoba suntik, istri mereka, anak dan pasangan seksual mereka.
“Tingginya angka kasus penularan HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba suntik ini menunjukkan kegagalan kita dalam penanggulangan masalah ini,” kata Zubairi. Hal ini disebabkan pemerintah dan pihak terkait dinilai belum serius mengatasi peredaran narkoba. Aparat kepolisian maupun lembaga peradilan juga hanya menekankan pada penegakan hukum dan pendekatan represif dengan hukuman penjara bagi pengguna narkoba.
“Program pengurangan dampak buruk penggunaan napza (harm reduction) di lapas atau rutan masih terbatas dan belum komprehensif,” ujar Nafsiah.
Diakui, pemerintah pada posisi dilematis dalam penanggulangan HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba suntik. Apabila dibiarkan, penularan HIV/AIDS pada pengguna narkoba suntik makin cepat. Di sisi lain, program layanan jarum suntik dikhawatirkan bisa melegalisasi peredaran narkoba.
Penyangkalan terhadap realitas meningkatnya kasus HIV/AIDS turut memperparah keadaan. Di sejumlah tempat, kelompok yang dianggap sebagai biang keladi penyebaran virus HIV— terutama para pekerja seks— menjadi sasaran kemarahan masyarakat, bahkan diikuti tindakan ekstrem dengan membakar lokalisasi dan tempat-tempat pelesiran lain yang dianggap sarang maksiat.
Kampanye kondom malah dianggap menganjurkan hal maksiat. Efektivitas kondom juga dipertanyakan sekelompok tokoh yang menganggap HIV/AIDS sebagai persoalan moral semata. Pada saat bersamaan, infeksi HIV terus melaju, termasuk pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV dan para istri yang tidak pernah berhubungan seks selain dengan suaminya.
Pengurangan dampak buruk
“Epidemi AIDS di kalangan pengguna napza suntik hanya bisa diubah jika kita berhasil menjangkau sedikitnya 80 persen dari mereka dan memberi paket pelayanan komprehensif pencegahan, pengobatan, serta perawatan,” kata Nafsiah. Sayangnya, upaya penanggulangan baru menjangkau sekitar 20 persen dari total populasi pengguna narkoba suntik.
Sejauh ini, pemerintah telah menyusun pedoman penanggulangan HIV/AIDS akibat pemakaian jarum suntik pada pengguna narkoba suntik secara bergantian. Pedoman itu mengatur penggunaan jarum suntik sebagai bagian layanan harm reduction di puskesmas, rumah sakit, dan lapas.
“Kebijakan pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkoba suntik diperlukan karena bagi yang kecanduan tentu butuh waktu untuk berhenti,” kata Nafsiah.
Oleh karena itu, ujar Nafsiah, yang terutama bagi kita adalah bagaimana agar para pengguna itu jangan menularkan HIV, hepatitis B, dan hepatitis C. Oleh karena itu pula, kalau selama ini dia pakai jarum suntik, diupayakan agar berhenti dan pakai metadon.
“Akan tetapi, ada yang belum bisa pakai metadon dan tetap menyuntik. Maka, yang penting, ketika menyuntik menggunakan jarum sendiri yang bersih, jangan digunakan secara bergantian,” kata Nafsiah.
Dalam aturan itu, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bertugas mengurus di lembaga pemasyarakatan, yaitu memisahkan antara pengedar dan pengguna. Setiap pengguna narkoba di lapas juga wajib diperlakukan sebagai pasien yang bisa disembuhkan. Apabila telanjur terinfeksi HIV, pasien dapat mendapat pengobatan tanpa didiskriminasi.
Realisasinya tentu butuh komitmen kuat dari pemerintah dan pemangku kepentingan dalam penanggulangan HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan. Untuk itu, kita bisa belajar dari negara-negara tetangga seperti Kamboja, khususnya menyangkut bagaimana upaya pencegahan yang terfokus dan berkelanjutan dapat menekan perkembangan epidemi HIV.
Leave a reply
[contact-form-7 id=”197″ title=”Untitled”]