Oleh Wayan Agus “Lenyot” Purnomo
Sebagai kaum minoritas (minority society), pecandu narkoba sangat rentan akan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Apalagi, ketika harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Stigmasisasi dan diskriminasi merupakan hal lumrah yang harus diterima.
Berdasarkan data yang diterima oleh Yayasan Kesehatan Bali sampai dengan pertengahan Desember 2007, sebanyak 39 orang korban penyalahgunaan narkoba pernah mendapat perlakuan diskriminatif dari aparat penegak hukum. Sebanyak 35 orang diantaranya atau 30 persen dari jumlah responden mengakui pernah mendapat kekerasan fisik dari aparat. Kekerasan fisik ini, seluruhnya dilakukan oleh kepolisian. Reformasi kepolisian yang digaungkan pasca reformasi untuk lebih melakukan pendekatan sipil kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum ternyata tidak sepenuhnya bisa dilaksanakan. Polisi dalam melakukan penyelidikan dan memeriksa pecandu narkoba justru lebih didominasi dengan pendekatan keamanan berupa penganiayaan secara fisik.
Bentuk penganiayaan itu dapat dikategorikan menjadi penganiayaan dengan alat maupun tanpa alat alias tangan kosong. Kekerasan dengan alat misalnya, memukul menggunakan selang, menjepit jempol tangan atau kaki tersangka dengan ujung meja yang diduduki petugas atau memukul kepala dengan gagang pistol. Sedangkan kekerasan tanpa alat dilakukan dengan memukul korban dengan tangan, menendang, dan menyuruh push up dan scot jam sampai dengan seribu kali.
Tentu saja fakta ini menjadi ironi. Polisi yang seharusnya menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, justru menjadi pihak yang paling sering melakukan kekerasan terhadap pecandu narkoba. Apalagi, sebagai aparat penegak hukum, polisi seharusnya mengedepankan asas praduga tidak bersalah (presumption of inoccent). Setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Penganiayaan ini mengakibatkan pecandu yang berada dalam pemeriksaan petugas menderita luka-luka. Misalnya, lebam pada wajah, punggung dan tangan, gangguan pendengaran, hidung berdarah, menimbulkan bekas luka pada bagian tubuh yang dipukul dan bengkak pada mata. Bahkan ada satu responden yang menyatakan bahwa dia pernah pingsan akibat dihajar oleh petugas. Tidak hanya menderita efek secara fisik, pecandu yang mengalami kekerasan itu mengalami trauma. Setiap melihat polisi, mereka selalu ketakutan.
Di samping melakukan kekerasan fisik, polisi juga melakukan kekerasan mental terhadap pecandu narkoba yang tertangkap. Hal ini diakui oleh 9 responden atau sebanyak 23 persen. Misalnya, dengan melakukan intimidasi, penodongan pistol dan pemaksaan untuk mengakui menjadi pengedar dalam introgasi.
Polisi, selain melakukan kekerasan fisik dan mental, sebanyak 11 responden atau 28 persen juga mengakui mereka melakuan perampasan terhadap para pecandu. Seperti diungkapkan oleh AB (28). Sekitar Oktober 2005 dia tertangkap tangan membawa satu paket heroin di Kampung Flores. Oleh polisi yang menangkapnya, Hp dan uang sebanyak Rp 50 ribu dirampas.
Di samping melakukan perampasan secara kasar, ada juga polisi yang melakukan perampasan secara halus. IGCP (22) menuturkan, dirinya pernah menggadaikan mobil milik ayahnya untuk membeli narkoba. Oleh keluarganya, dia dilaporkan ke pihak kepolisian. Di kantor polisi dia mendapat intimidasi dan dijanjikan dibebaskan jika bersedia menyerahkan uang sisa hasil gadai mobil ayahnya. Untungnya, pihak keluarga mencabut aduan tersebut sehingga perkaranya tidak dilanjutkan ke pengadilan.
Tidak hanya itu, sebagai garda terdepan dalam pemberantasan penyalahgunaan narkoba, polisi juga tidak jarang menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan pemerasan terhadap korban. Sebanyak 2 orang atau 5 persen responden mengakui pernah diperas oleh polisi ketika melakukan penyelidikan. AR (22) dan AG (20) mengungkapkan, polisi menggeledah sebuah rumah di Jalan Raya Celuk Sukawati tanpa membawa surat penggeledahan. Karena hanya menemukan 2 buah jarum dan bekas bungkusan narkoba, AG dan AR yang kebetulan ada di kamar tersebut mulai ditampar, dimaki-maki serta diancam akan melanjutkan kasus itu ke pengadilan. Akhirnya, AR dan AG diminta untuk menyerahkan uang sebanyak Rp 1 juta yang harus diserahkan keesokan harinya.
Fakta-fakta yang tersaji diatas menambah daftar hitam penegakkan hukum di Indonesia. Namun tidak cukup sampai di sana, ada oknum polisi yang melakukan pelecehan seksual terhadap korban penyalahgunaan narkoba. DR (28), menuturkan ditangkap di salah satu pertokoan di Denpasar. Korban dibawa ke tanah kosong dekat pertokoan tersebut dan ditelanjangi oleh polisi yang memeriksanya. Dari tubuh korban ditemukan 6 paket heroin yang disembunyikan dalam rambutnya. DR akhirnya disuruh memilih, kasusnya akan tetap dilanjutkan atau akan dihentikan dengan syarat harus bersedia tidur dengan polisi yang memeriksanya.
Sebenarnya DR memilih opsi kedua, namun polisi tersebut tetap melanjutkan kasusnya. Namun, di tahanan dia harus melayani nafsu penjaga tahanan dengan imbalan dia bisa menghiruf udara segar di luar blok. Pengalaman ini menimbulkan efek traumatis yang panjang. DR sekarang sering merasa malu, takut dan depresi terhadap apa yang menimpanya. Belum lagi, dia harus dikucilkan dari keluarga dan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Tentu saja, polisi bukan satu-satunya pihak yang berlaku diskriminatif dan stigmatif terhadap korban penyalahgunaan narkoba. Memang berdasarkan hasil survey, polisi yang melakukan kekerasan terhadap pecandu mencapai 37 orang atau 95 persen dari total petugas. Sementara, sisanya dilakukan oleh petugas kesehatan terkait dengan pelayanan kesehatan. Hal ini dialami oleh GQ (29). Kala itu giginya sakit dan hendak mencabut giginya di Puskesmas Pegok. Suster lalu mencatat riwayat kesehatannya dan GQ menjawab dengan jujur bahwa dirinya adalah pecandu. Yang sangat disayangkan, menurut GQ, suster menyarankan agar dia jangan menikah karena pecandu rentan dengan HIV. Kenyataan ini sangat ironis, karena pelayan kesehatan seharusnya paham bahwa pecandu atau ODHA adalah manusia yang memilki hak dan kewajiban yang sama di masyarakat, termasuk berkeluarga. Perilaku suster tersebu mencerminkan belum adanya kesadaran dari pelayan kesehatan mengenai hak-hak pecandu.
Apapun alasannya, perlakuan diskriminatif terhadap sesama adalah melanggar hak asasi. Sehingga, perlu perjuangan panjang agar pecandu dan mantan pecandu bisa diterima di masyarakat. Tidak mudah memang. Tetapi semua itu harus tetap diperjuangkan. Sampai kapan pun…