In Memorial Wulan
By : Moktar, Jakarta, 11 Maret 2013
Para staf-staf menyebutnya Bunda meskipun umurnya sebaya. Bunda mengingatkan kita pada sosok yang menyenangkan, egaliter, mengayomi dan penuh semangat untuk perbaikan masa depan buat anak-anak dan masa depan peradaban seperti yang digambarkan dalam novel Bunda Maxim Gorky. Bunda dalam novel tersebut membantu perjuangan anak-anaknya menyebarkan brosur “pergerakan buruh “ untuk satu kata yang bernama perjuangan. Wulan bukanlah Bunda yang digambarkan oleh Maxim Gorky, juga bukan Kartini yang dengan gigih memperjuangkan kaum perempuan dijaman kolonial dengan budaya patiarky yang sangat kuat sehingga perempuan menjadi sangat termarginalisasi. Kartini dengan gigih memperjuangkan kesamaan laki-laki – perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Kita mengenalnya dengan buku yang sangat terkenal “Habis gelap, terbitlah terang.”
Wulan kita mengenalnya sebagai anak muda yang energik, cantik, mode serta menjadi ketua yayasan Stigma. Tentu kita bukan hendak membandingkan kalau ingin tahu apa yang dilakukannya, juga bukan sebuah gossip atau sekedar berita infotainment melainkan kita memang perlu tahu Wulan sebagai sahabat, teman yang telah memberikan sumbangsih untuk penanggulangan HIV. Ini jelas bukan untuk romantisme sejarah tetapi ada yang perlu dilihat dari sosoknya. Wulan adalah anak muda yang menjadi ketua Yayasan Stigma bersama teman-teman sebayanya untuk satu tujuan mengangkat derajat orang-orang yang termarginal karena memakai “narkoba”.